MARAKNYA kasus kriminal, berupa pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan seksual bahkan maraknya prilaku korupsi dan prilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama Islam, beberapa dekade ini, semakin merajalela terjadi di Indonesai. Hal ini, membuat keprihatinan tersendiri bagi bobroknya moral generasi muda Indonesia.
Hal itu bertumpu pada krisisnya moral atau Akhlaqul Karimah (perilaku mulia) atau minimnya kedalama pengetahuan ke-islam-an di masing-masing indivdu. Maklum kalau beberapa tahun ini, marak pemerkosaan yang dengan kejamnya orang tua tega memperkosa anaknya sendiri dan begitu juga sebaliknya, anak nekat memperkosa ibu kandungnya sendiri.
Melihat dinamika realitas masyarakat saat ini, sangta tepat kiranya kalau Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hikmah, yang beralamat di Jl Raya Tanjung Sari Nomor 150, Desa Kuwolu, Kecamatan Bululawang, Kebupaten Malang, Jawa Timur, memiliki visi misi luas untuk mendidik para santri-santrinya yang bermoral mulia, dan memiliki kemampuan yang mendalam tentang ke-islam-an dan kemampuan skill yang profesional.
Visi dan misi yang dianut Yayasan Pendidikan Al Hikamh Bululawang Malang itu, tidak terlepas dari keinginan pendirinya KH Umar dan jajaran dewan pengasuh saat ini—memakia sistem kolektif kolegial.
Pesantren yang sudah berdiri sejak tahun 1947 ini, juga memiliki cita-cita agung. Yakni, ingin mengubah pola hidup mulai dari diri sendiri, keluarga, handaitolan, dan umat Islam secara umum.
Didirikannya Ponpes Al Hikmah ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat di daerah tersebut. Dari sejarahnya, masyarakat di sekitar pesantren itu, masih dalam kondisi ‘buta’ akan ilmu agama Islam. Kehidupan sehari-harinya, masyarakat di sekitar pesantren Al Hikmah saat itu, tepatnya pada tahun 1825, masih diselumuti dan diwarnai dengan molimo (maling, madon, maen, mabok, madat).
Melihat kondisi masyarakat yang demikian, membuat pemuda bernama Umar—masa mudannya kala itu—merasa prihatin dan bertekad untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat di Desa Kuwolu, yang terletak di wilayah selatan Kabupaten Malang itu.
Kalau Umar mendapat ilmu yang banyak, di masa mudanya dia bercita-cita “dhono weweh ngelmo marang bolo tonggo (ingin memberikan semua ilmu yang dimilikinya kepada sanak keluarga, handaitolan, dan tetangga)”.
Dengan perjuangan yang tidak mudah, Umar meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mondok, mencari ilmu ke pondok pesantren. Konon ceritanya, niat suci Umar tersebut, tidak disambut baik oleh kedua orang tuanya. Hal itu karena faktor keberadaan ekonomi yang tidak mendukung.
Perjuangan Umar agar mendapat restu dari kedua orang tuanya tak pernah surut. Agar mendapat restu, Umar mengusulkan kepada kedua orang tuanya, kalau dirinya diizinkan mondok, selama berada di pondok pesantren, bersedia tidak akan meminta bianya sedikitpun kepada orang tuanya.
Usulan Umar itu, masih juga tetap tidak mendapat izin. Jalan terakhir, Umar nekat melakukan mogok makan, dengan duduk bersandar ke sebuah tiang yang terbuat dari bambu di dalam dapur rumahnya.
Mogok makan yang dilakukan Umar selama tujuh hari itu, berhasil mempengaruhi kedua orang tuanya. Di hari terakhir, sang ibu, tidak tega melihat kondisi Umar yang sudah mulai lemas tidak makan selama tujuh hari. Sang ibu mencoba merayunya agar Umar berhenti mogok makan.
Rayuan sang ibu tidak membuat Umar berhenti mogok makan. “Apabila saya tidak diizinkan untuk mencari ilmu ke pondok, maka lebih baik saya mati kelaparan,” kata Umar kepada sang ibu saat itu. Akhirnya, perjuangan Umar berhasil, ia mendapat restu dari kedua orang tuanya untuk menuntut ilmu ke pondok pesantren dengan bekal seongkok nasi karak.
Lalu, Umar berangkat, berjalan kearah yang disarankan oleh kedua orang tuanya. “Pergilah kamu mencari ilmu, di pondok pesantren dan berjalanlah kamu, kearah utara barat. Atau barat utara,” pesan bapaknya.
Akhirnya, sampailah Umar di sebuah pondok pesantren, tepatnya diwilayah Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang (wilayah malang barat)—tidak terlacak nama pondok pesantrennya. Beberapa tahun kemudian, setelah Umar banyak menimba ilmu di pondok pesantren tersebut, Umar kembali pulang kampung.
Dalam waktu tidak begitu lama, Umar dinikahkan dengan seorang gadis desa bernama Aisyah yang tinggal di Dusun Tanjung Sari, Desa Kuwolu, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.
Dari pernikahan itulah Umar dikaruniai dua puteri. Diantaranya, Khodijah dan Khotijah. Puteri pertamanya Khodijah, menikah dengan Marwondo alias H Abdul Ghafur. Puteri keduanya, menikah dengan Marimun alias H Abdurrahman.
Setelah kedua puterinya—Khodijah dan Khotijah—sudah berumah tangga, Umar berniat untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Saat akan berangkat menunaikan ibadah haji, Umar berpesan kepada salah seorang cucunya, bernama Syaian alias Abdul Hamid, putra dari pasangan Khodijah, dan H Abdul Ghafur.
Dan pada saat itupula, Abdul Hamid hendak akan berangkat mondok ke pondok pesantren Darul Ulum, Rejoso, Paterongan, Kabupaten Jombang yang saat itu diasuh oleh KH Romli Tamim. “Le, besok-besok derekno madrasah. Aku be’ awakmu penthuk meneh diakhirat ae (nak, nanti dirikanlah madrasah. Saya dan kamu ketemu lagi diakhirat saja),” pesan Umar kepada cucunya Abdul Hamid.
Perjuangan KH Umar yang tidak kembali lagi ke Indonesia—karena beliau wafat di tanah suci Mekkah pada tahun 1951, saat menunaikan ibadah haji—untuk membabat tanah yang akan dijadikan Yayasan Pendidikan Al Hikmah itu cukup luar biasa. Terbukti, dengan perjuangannya ‘berperang’ dengan mahkluk ghaib yang menghuni di sumber mata air besar, yang saat ini menjadi lokasi Yayasan Pendidikan Al Hikmah.
Sumber mata air yang sebelum berdiri bangunan Yayasan Pendidikan Al Hikmah itu, menjadi tempat pemandian anak-anak desa setempat. Kiai Umar saat akan berniat untuk menutup sumber mata air tersebut, konon melakukan puasa selama 40 hari.
Pada hari terakhir melakukan puasa, kepala mahluk ghaib yang ada menghuni di sumber mata air itu diusir dari dari tempat tersebut. Sumber mata air itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya Yayasan Pendidikan Al Hikmah.
Beberapa tahun kemudian, setelah KH Abdul Hamid pulang dari pondok pesantren Darul Ulum Jombang, muncul dukungan dan desakan untuk mendirikan poesantren dari beberapa ulama kharismatik diantaranya KH Maksum, dari Giri Gresik, KH Wahid Fauzi, dari Kemlagi Mojokerto, KH Muslim Klaten (yang akrab disebut Mbak Lim), dan beberapa ulama lainnya di Jawa Timur.
Dari desakan para ulama tersebut, pada tahun 1955, didirikanlah Madrasah Diniyah dan Yayasan Pendidikan Al Hikmah oleh KH Abdul Ghafur bersama putranya KH Abdul Hamid di lokasi tersebut dengan ala kadarnya. Kemudian pada tahun 1956 didirikan Unit Pendidikan formal yang diawali dengan berdrinya Madrasah Ibtidaiyah Al Hikmah (MI) untuk meringankan beban masyarakat yang mensekolahkan anaknya di yayasan pendidikan Al Hikmah tidak dikanai beban biaya bahkan semua siswa diberi seragam secara gratis, kemudian dalam pekembangannya Yayasan Pendidikan Al Hikmah terus berkembang dengan berdirinya unit – unit yang lainnya baik formal maupun non formal secara bertahap dari tahun 1956 – sampai sekarang seperti TK Al Hikmah (TK) berdiri tahun 1969, Madrasah Tsanawiyah Al Hikmah ( MTs ) berdiri tahun 1971 dan unit SMA Islam Al Hikmah ( SMAI ) berdiri tahun 1985, Pondok Pesantren Putra berdiri 2005, Pondok Pesantren Putri berdiri tahun 2011, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an berdiri tahun 2014.
Saat ini, Yayasan Pendidikan Al Hikmah itu, dikelola dengan sistem kolektif kolegial. Yakni memakai sistem jajaran dewan pengasuh. “Memakai sistem kolektif kolegial itu, untuk bersama-sama berjuang membumikan bercita-cita kiai Umar yakni, “dhono we weh ngelmo marang bolo tonggo (ingin memberikan semua ilmu yang dimilikinya kepada sanak keluarga, handaitolan, dan tetangga).
Di Yayasan Pendidikan Al Hikmah “Pengetahuan tentang kitab salafnya, untuk mendalami ilmu agama Islam juga harus disiapkan. Kecakapan dalam berbahasa harus juga matang. Dan profesional dalam penguasaan teknologi informasi harus juga mendalam. Cita-cita besar pesantren ini, membentuk moral santri yang mulia, dan memiliki skil yang profesional,” tegasnya.
Mengaji Sambil Belajar Musik Islami
Di pesantren Al Hikmah ini, telah berdiri lembaga pendidikan formal diantaranya, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK) Al Hikmah, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), SMA Islam Al Hikmah.
Adapun pendidikan non formalnya, yaitu berupa pengajian kitab salaf berupa kitab tafsir, nahwu, shorof, tasawuf dan kitab-kitab salaf lainnya yang sudah mashur dikaji dikalangan pondok pesantren disuruh Indonesia.
“Pengajian kitab salaf yang sudah mashur dikaji dibelbagai pesantren, sudah menajdi kegiatan rutin di pesantren ini. Misalnya, kalau ilmu tasawuf memakai kitab Bidayatul al Bidayah, karangan Shekh al Imam Hujjatu Islam Imam Ghozali. Dan kitab-kitab salaf lainnya,” jelas Kepala pesantren Al Hikmah, ustadz Ahmad Malik Dzahir kepada Risalah NU.
Selain pengajian rutin kitab salaf, para santri juga mendapat penddiikan modern untuk menata skiil pasa santri dibidang teknologi dan bahasa. Yakni kursus Komputer dan bahasa Inggris dan Arab. “Itu untuk menata skill santri menjadi generasi yang siap menghadapi perkembangan kecanggihan teknologi dan informasi,” terangnya.
Tidak hanya itu, di pesantren Al Hikmah menurut Ahmad Malik Dzahir, yang akrab disapa Ustadz Malik, juga memiliki komunitas seni islami berupa Jama’ah musik sholawat (Jamus) yang dipadukan dari dua deminsi alat seni tradisional dan modern. Selain itu juga ada seni Hadrah dan drum band.
Komunitas seni islami itu, tidak hanya difokuskan pada para santri yang bermukim di dalam pesantren. Tetapi, juga mengakomudir para pemuda desa sekitar yang berkeinginan untuk menata karirnya di dunia musik bernafaskan islami.
“Jamus, hadrah dan drum band itu adalah perpaduan dua deminsi, musik tradisional dan modern. Jantungnya, musik yang ada itu, tetap harus bernilai islami, lagu-lagunya sholawat atau yang mengandung islami,” katanya.
Lebih lanjut Malik merici seluruh kegiatan yang ada di Ponpes yang memliki santri, baik yang bermukim dan yang bertolak berjumlah 1000 orang ini, setelah berjamaah salat Subuh, para santri mengikuti mengajian kitab salaf. Seperti Fathul al qhorib dan kitab salaf lainnya. Kemudian, pada pukul 07.00 WIB, santri melanjutkan untuk sekolah formal.
Sepulang dari sekolah formal, dilanjutkan dengan salat berjamaah salat Azhar. Sehabis salat Azhar, santri mengikuti kegiatan baca sholawat nabi dan pengajian kitab salaf Bidayatul al Hidayah.
Sementara pada aktifitas dimalam harinya, usai berjamaah salat Mahgrib, santri mengaji Alquran sampai tiba salat Isyak. Tidak hanya itu, selesai mengaji Alquran, santri masih harus mengikuti kegiatan belajar mengajar di Madrasah Diniyah, khusu mendalami ilmu agama. Di tengah malamnya, pada pukul 24.00 WIB, diadakan gerakan batih (gerbat), yakni salat tahajjud yang dilakukans ecara berjamaah.
“Baru kalau Minggu malam, di pesantren ini diadakan kegiatan pelatihan Hadrah, khitobah (pelatihan berpidato) dan Jamaah musik sholawat (Jamus). Ini selain sebagai tambahan mengasah skill santri dan sekaligus hiburan bagi santri,” ujarnya.
Untuk para santri yang sudah lulus SMA, disiang harinya, dimafaatkan untuk dididik bercocok tanam di tanah yang dimilik pesantren. Selain bercocok tanam, santri yang kebanyakan sudah berstatus mahasiswa itu, juga dididik untuk menata skillnya dalam hal bangunan di pesantren.
“Tujuannya, agar setelah pulang ke masyarakat nanti, alumnus pesantren ini, mengerti dengan aktifitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Makanya, ada santri yang dididik bertani, menjadi tukang bangunan, dan juga ahli dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Bahkan santri juga harus menguasai ilmu teknologi yang berkembang saat ini, seperti komputer,” tegasnya.