Secara normatif, berdasarkan pada UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maka Dosen diartikan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari definisi normatif di atas maka kedudukan dosen dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah jelas. Yakni, dosen diharapkan mampu menjadikan kompetensi yang dimiliki sebagai jawaban atas segala keresahan masyarakat. Jawaban yang dibutuhkan dalam hal ini ialah bagaimana kompetensi yang dimiliki oleh tiap dosen bermakna kongkrit terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi jawaban kongkrit atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk mewujudkan peran seorang dosen tersebut maka dosen dituntut untuk selalu berkaya. Karya akan menjadi bukti bahwa seseorang menyandang gelar dosen bukan karena sekedar menjadi pengajar pada suatu perguruan tinggi dan kemudian tidak memberi karya apa-apa. Karya bagi seorang dosen merupakan kewajiban hakiki yang harus dikerjakan.
Karya seorang dosen dapat dilihat dari produktifitas tulisannnya yang dipublish. Tulisan yang dipublish menjadi parameter karena tulisan yang dipublish membuktikan beberapa hal. Pertama, bahwa dosen tersebut benar-benar menjalankan kewajibananya sebagai seorang akademisi yang tidak hanya memiliki kegiatan mengajar semata melainkan juga meneliti.
Kedua, seorang dosen berani menawarkan pemikiran yang dimiliki untuk dibaca dan didiskusikan dengan orang lain. Keberanian dosen untuk menawarkan pemikirannya ke khalayak umum merupakan sikap ksatria seorang dosen yang siap menerima kritik atas tulisan atau pemikirannya. Sikap seperti ini penting karena menunjukkan bahwa dosen bersangkutan memiliki pemikiran yang terbuka. Ia tidak meyakini secara sepihak bahwa hasil pemikirannya adalah pemikiran yang paling baik atau sempurna.
Berbagai wujud publish karya dosen dapat dituangkan dalam berbagai bentuk media. Secara umum, karya dosen selama ini dapat terlihat dalam bentuk tulisan di media massa cetak/elektronik (koran), jurnal dan buku.
Koran merupakan salah satu tempat bagi dosen dalam menyampaikan gagasannya ke masyarakat dan sekaligus hadir memberikan jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi rakyat (aktual). Menulis di koran bagi seorang dosen merupakan langkah paling cepat dalam merespon berbagai isu yang sedang berkembang.
Koran dikatakan sebagai ruang paling cepat karena koran merupakan media yang terbitnya setiap hari dan isu yang disajikan juga berdasarkan pada suatu peristiwa yang masih terjadi atau baru saja terjadi. Lewat tulisan di koran, seorang dosen juga tidak harus membuat suatu tulisan yang benar-benar konfrehensif karena tiap koran membatasi jumlah kata. Yakni, rata-rata hanya 850 karakter. Dengan demikian maka seorang dosen tidak perlu banyak menampilkan berbagai teori dan analisis.
Namun, ketika dosen menulis di koran maka yang bersangkutan “dipaksa” untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk bahasa populer mengingat koran bukan tempat tulisan “karya akademik”. Hal ini tentu merupakan dilema tersendiri. Pasalnya, bahasa populer kerap berbeda makna dengan bahasa ilmiah-akademik.
Apalagi, dalam bahasa akademik sangat bergantung pada disiplin keilmuan pada masing-masing dosen. Bahasa disiplin keilmuan antar program studi jelas sangat berbeda. Sebuah kata maknanya sangat bergantung pada konsep suatu program studi. Semisal konsep “testis” dalam ilmu hukum berbeda dengan testis dalam ilmu kedokteran. Kata “dipelihara” dalam ilmu hukum tentu berbeda makna dengan konsep “dipelihara” dalam ilmu peternakan.
Kedua, buku. Buku merupakan bentuk perwujudan tulisan seorang dosen yang paling utuh. Dengan menuliskan pemikirannya lewat buku maka seorang dapat dinyatakan benar-benar telah melakukan proses penelitian atau pemikiran yang cukup lama dan konfrehensip. Pasalnya, sebuah buku tidak akan tersaji apabila pemikiran dari seorang dosen masih sepotong-sepotong. Jumlah halaman buku yang relatif banyak menuntut setiap dosen untuk memiliki pemikiran yang dalam dalam membahas suatu tema.
Bersamaan dengan itu, dalam menuangkan pemikirannya dalam bentuk buku maka seorang dosen dapat menyajikan secara utuh berbagai teori yang digunakan sebagai pisau analisis atas isu yang dikaji sehingga analisis yang dibangun memiliki pijakan yang jelas. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan dosen dalam membangun pikiran yang utuh. Apabila seorang dosen pemahamannya atas suatu tema sempit maka dapat dipastikan kuantitas tulisannya tidak akan memenuhi jumlah halaman minimal sebuah buku.
Bentuk perwujudan ketiga bagi tulisan seorang dosen dapat berbentuk Jurnal. Jurnal menjadi ruang bagi setiap dosen untuk dapat mengemukakan pemikirannya yang bersifat original dan dalam. Jurnal walaupun jumlah halamannya tidak setebal buku. Namun, perjuangan untuk dapat dimuat di Jurnal atas karya seorang dosen tidaklah mudah. Hal ini karena untuk dapat dimuat dalam sebuah jurnal, seorang dosen harus “bersaing” dengan dosen dari kampus berbeda mengingat jumlah tulisan yang masuk kedalam redaksi suatu jurnal datang dari seluruh dosen lintas perguruan tinggi. Apalagi jurnal internasional yang kompetisinya melibatkan seluruh dosen seluruh dunia.
Lalu di antara koran, buku dan jurnal mana yang paling besar manfaatnya bagi pembaca dan dosen? Pada hakikatnya, semua karya dosen dapat memberikan manfaat bagi pembaca mengingat tidak ada tulisan yang tidak dapat memberikan manfaat. Bukankah setiap apa yang kita baca merupakan “gizi” bagi otak.
Sedangkan bagi dosen sendiri, menulis di koran, buku dan jurnal dapat menjadikan seorang dosen memperoleh manfaat yang luar biasa. Tatkala seorang dosen berhasil mempublish tulisannya maka ia akan mendapatkan “ketenenangan”. Ketenangan ini hadir karena ketika tulisannya dipublish maka ia dapat meyakini bahwa tulisannya bagus atau layak dibaca banyak orang. Bersamaan dengan itu, ia juga merasakan ketenangan karena telah melontarkan ide-idenya ke ranah publish dan ia akan dikenal sebagai penemu atas suatu topik yang ia tulis.
Ketenangan bagi seorang dosen saat tulisannya dipublish tidak semata-mata karena royalty yang akan didapat. Bagi seorang dosen, royalty yang diterima memang dapat mendatangkan kesenangan tapi belum tentu ketenangan.
Pada sisi yang sama, dalam rangka untuk meningkatkan produktifitas dosen dalam menulis, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi yang “menggoda” dan “memaksa” dosen untuk menulis. Pemerintah menawarkan berbagai bantuan hibah penelitian dan hibah buku bagi dosen yang gemar meneliti/menulis.
Hibah yang ditawarkan oleh pemerintah tidak tanggung-tangung. Yakni angka yang ditawarkan untuk setiap penelitian mencapai angka ratusan juta rupiah. Sebuah angka yang apabila dikonversi menjadi gaji seorang dosen dapat berkali-kali lipat.
Sedangkan bagi dosen yang malas menulis maka siap-siap untuk tidak naik pangkat akademik mengingat tulisan atau hasil penelitian berupa jurnal atau buku menjadi syarat wajib bagi setiap dosen yang akan naik pangkat.
*)Penulis: Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).